BANGUNAN HEMAT ENERJI

STRATEGI MEWUJUDKAN BANGUNAN HEMAT ENERGI

 

Bonifasius Heru Santoso Soemarno

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur UNS Sebelas Maret Surakarta

Mahasiswa S3 Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya

 

 

             Isu tentang bangunan hemat energi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Isu tersebut sudah lama didengungkan oleh para ilmuwan di bidang Arsitektur terutama di alur Fisika Bangunan, mengingat keterbatasan akan ketersediaan sumber daya alam yang tak terbarukan tersebut sudah lama diprediksi. Banyak teori-teori dan konsep tentang bangunan hemat energi telah disampaikan baik melalui buku-buku teks maupun jurnal-jurnal ilmiah. Namun tampaknya masih sangat sedikit para arsitek maupun masyarakat umum yang menanggapi dan memberi sedikit perhatian terhadap isu tersebut secara positif. Baru beberapa bulan terakhir ini orang mulai berpikir melakukan penghematan-penghematan dalam penggunaan listrik dan bahan bakar minyak.

Nah, seiring dengan krisis bahan bakar minyak dunia tersebut, beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Yusuf Kalla menantang para arsitek untuk dapat menciptakan bangunan hemat energi. Pertanyaannya adalah kenapa baru sekarang hal itu disampaikan dan kenapa hanya kepada para arsitek, kog tidak ditujukan kepada masyarakat dalam arti yang lebih luas. Bukankah karya arsitektur juga dipengaruhi dan dibentuk oleh masyarakat penggunanya.  Tantangan ini tentu ada hubungannya dengan melambungnya harga minyak dunia yang saat ini sudah mencapai kisaran di atas US$ 120 per barrel. Melambungnya harga minyak dunia yang sedemikian tingginya tentu sangat berkorelasi dengan besaran subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena dengan mengupayakan bangunan yang hemat energi diharapkan para arsitek dapat berperan dan memberi perhatian yang lebih besar dalam penghematan bahan bakar yang selama ini masih banyak digunakan untuk menghasilkan listrik PLN. Meskipun disadari, peran penghematan energi melalui konsep bangunan tidak hanya menjadi tantangan para arsitek melainkan juga menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia tanpa terkecuali.   

Tantangan Wakil Presiden ini sangatlah wajar disampaikan mengingat banyak karya-karya arsitektur kita selama ini cenderung kurang memanfaatkan potensi lingkungannya secara maksimal. Banyak sumber daya alam terbarukan (Renewable resources) hilang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Banyak bangunan yang sangat boros energi terutama dalam penggunaan sistim pengkondisian udara dan sistim pencahayaan. Di sisi lain banyak pula anggota masyarakat yang kurang peduli dengan masalah energi ini. Pada umumnya mereka beranggapan yang penting bisa membayar, tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari. Akhirnya, tanpa disadari, biaya energi listrik makin membengkak, sementara bangunan sudah terlanjur dirancang secara kaca masif  dengan mengandalkan sepenuhnya pada sistim penghawaan buatan. Nah ketika ketersediaan listrik dalam kondisi kritis dan Bahan Bakar Minyak semakin mahal, barulah disadari akan pentingnya bangunan hemat energi tersebut.

 

 

Sistim penghawaan dan Pencahayaan

Seperti diketahui, ada beberapa kegiatan penggunaan energi di dalam bangunan (rumah tinggal) seperti: kegiatan penghawaan, pencahayaan, kegiatan internal rumah tangga: memasak, seterika, mencuci (dengan mesin cuci), dll. Diakui atau tidak, semua kegiatan di atas tentu berkaitan dengan penggunaan energi listrik dan akhirnya berujung pangkal pada penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Semakin tinggi intensitas kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, akan semakin tinggi penggunaan energi listrik, berarti semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkankan.

Dari kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, secara umum, ada 2 kegiatan yang diidentifikasi sangat berperan dan berhubungan langsung dengan pemborosan energi, yaitu penghawaan/ pengkondisian udara dan pencahayaan. Artinya adalah penggunaan energi sebagai akibat kedua kegiatan penghawaan dan pencahayaan tersebut.

Sistim penghawaan dan pencahayaan buatan ditengarai dianggap sebagai sumber pemborosan energi terbesar dalam bangunan, yaitu sekitar 60 % dari energi yang digunakan dalam bangunan. Pemborosan energi dari sisi penghawaan dan pencahayaan akan dapat dikurangi apabila bangunan didesain secara tepat. Sementara sistim alami merupakan solusi bagi penghematan energi, karena energi yang disediakan oleh matahari merupakan energi yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu tepat kiranya apa yang ditawarkan oleh Bapak Wakil Presiden kepada para arsitek untuk menciptakan bangunan yang hemat energi yang betul-betul bisa memanfaatkan sistim alami dalam menyediakan kenyamanan termal dan visualnya.

 

Problem Iklim Tropis lembab, kenyamanan termal dan visual.

Seperti diketahui karakteristik iklim Tropis Lembab, sebagaimana yang terjadi di negara kita, merupakan kondisi iklim yang unik. Pada lingkungan semacam itu biasanya ditandai dengan kondisi temperatur udara antara 22 – 32 oC dan kelembaban udara yang tinggi yaitu di atas 90 % dengan curah hujan yang sangat tinggi. Cahaya matahari dapat dinikmati sepanjang hari dengan disertai intensitas radiasi panas yang sangat tinggi. Sementara kondisi kecepatan udara cenderung lemah sampai sedang.

            Dengan kondisi semacam itu udara terasa sangat panas, keringat yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai bagian dari proses metabolisme sulit kering akibat tingginya kelembaban udara di daerah tropis lembab. Kenyamanan termal sulit diperoleh. Sementara dari sisi pencahayaan alami, potensi sinar matahari yang melimpah sepanjang hari tidak termanfaatkan secara tepat. Langkah selanjutnya yang sering digunakan  orang untuk memperoleh kenyamanan termal dan visual adalah dengan menggunakan sistim penghawaan dan pencahayaan buatan sepanjang hari. Padahal penggunaan sistim penghawaan dan pencahayaan terkadang sangat kontradiktif, artinya apabila kita akan memanfaatkan sistim pencahayaan alami secara maksimal ke dalam bangunan berarti panas yang masuk ke dalam bangunan juga akan semakin besar dan berarti pula akan meningkatkan pemanasan dalam bangunan. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan temperatur ruang dalam. Nah apabila pemanasan bangunan ini akan diselesaikan dengan sistim penghawaan buatan maka memerlukan kapasitas AC yang lebih besar dan menambah pemborosan, dan kondisi ini berimplikasi terhadap konsumsi listrik yang besar pula.

 

Konsep Bangunan Hemat Energi?

Ketika kita akan mewujudkan bangunan hemat energi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana energi digunakan untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan dalam bangunan seperti untuk pendinginan udara, pencahayaan, mekanikal dll. Selanjutnya, bagaimana konsumsi energi dalam bangunan tersebut dapat dikurangi. Mengingat bagian terbesar dari penggunaan energi dalam bangunan dikonsumsi dalam kegiatan penghawaan/ pendinginan bangunan dan pencahayaan (60 %) maka yang ditekankan dalam hal ini adalah, yang pertama, meminimalkan proses pemanasan yang masuk ke dalam bangunan (heat gain process) baik secara internal dan eksternal dan memaksimalkan proses pengeluaran panas dari bangunan (heat loss process). Yang kedua adalah mengatur proses pemasukan cahaya alami dan sekaligus meminimalkan panas yang masuk ke dalam bangunan.

Proses pemasukan panas dan pengeluaran panas dalam bangunan harus diupayakan seimbang, artinya apabila proses pemanasan lebih besar dibandingkan proses pelepasan panas maka bangunan akan mengalami peningkatan temperatur udara (overheating), sedangkan pelepasan panas lebih besar dibandingkan dengan pemasukan panas maka bangunan akan mengalami kondisi sebaliknya yaitu penurunan temperatur udara (underheating).

Oleh karena itu, untuk menekan beban pelepasan panas yang besar dalam bangunan, pemasukan panas harus diupayakan pada tingkat yang serendah-rendahnya. Sebagaimana diulas di depan, pemanasan bangunan dapat terjadi melalui proses internal dan eksternal. Secara internal, orang hanya bisa mengupayakan melalui pengaturan intensitas pemakaian alat-alat rumah tangga yang bersifat elektikal, seperti: penyalaan lampu pada siang hari, mengurani pemakaian seterika listrik, mesin cuci, AC. Pada sisi eksternal, pemasukan panas sulit diperkirakan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh seberapa besar intensitas panas matahari masuk ke dalam bangunan dan sejauh mana elemen bangunan dapat mereduksi panas eksternal yang masuk. Panas matahari dapat masuk ke bangunan melalui material bangunan terutama atap, lantai dan dinding melalui proses konduksi, masuk melalui udara  dengan proses konveksi dan melalui gelombang elektromagnetik dengan cara radiasi.

            Terkait dengan konsep Bangunan Hemat Energi, proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta pemasukkan cahaya, mau nggak mau, suka tidak suka, harus diselesaikan secara alami (natural concept) yaitu melalui pendekatan arsitektural dan non arsitektural. Artinya permasalahan kenyamanan termal dan visual diupayakan untuk diselesaikan melalui penggunaan elemen- elemen  bangunan itu sendiri atau dengan alat yang dapat memanfaatkan energi alam yang terbarukan. Meskipun disadari bahwa penggunaan konsep alami tidak serta merta bisa menjawab kebutuhan kenyamanan termal seperti yang kita inginkan, tetapi minimal kita tidak terlalu tergantung sepenuhnya pada kondisi melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak.

 

Pendekatan Arsitektural

            Secara arsitektural, konsep bangunan hemat energi sebagaimana diuraikan di muka dimulai dari keseimbangan proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta proses pemasukkan cahaya alami dan sekaligus proses pengurangan panasnya. Proses pemasukan panas bangunan terutama dari sisi pemanasan eksternal dapat direduksi melalui strategi arah hadap bangunan yaitu dengan menempatkan dinding-dinding yang lebar, jendela dan alat ventilasi pada sisi-sisi yang tidak berhadapan secara langsung ke sinar matahari, penempatan tanaman-tanaman yang rindang untuk memberikan efek peneduhan pada lingkungan bangunan (terutama pada sisi Timur dan Barat), alat-alat pembayangan dalam bangunan untuk menurunkan temperatur permukaan bangunan, pengaturan sistim tata ruang yang memungkinkan cahaya dan aliran udara dapat menjangkau dengan mudah ke sudut-sudut ruang. Strategi yang lain yang secara arsitektural dapat diaplikasikan untuk menurunkan pengaruh panas eksternal tersebut, seperti: pemilihan material bangunan yang dapat meredam dan menyimpan panas yang masuk ke dalam bangunan , warna bangunan yang tidak menyerap panas (warna putih atau yang terang), tekstur permukaan yang dapat merefleksikan panas dll.

            Dari sisi pelepasan panas bangunan, aliran udara yang baik di dalam bangunan, sementara ini masih dianggap sebagai strategi yang ampuh untuk mereduksi pemanasan bangunan. Aliran udara yang baik melalui ventilasi silang sebaiknya diaplikasikan dalam bangunan untuk mengurangi ketergantungan pada sistim penghawaan buatan. Namun pada kondisi tertentu, seperti akibat adanya kepadatan bangunan yang tinggi, lahan yang terbatas dan lain-lain, strategi ini sulit diaplikasikan, terutama untuk penempatan alat ventilasi, dan topik ini masih dalam proses pendalaman oleh penulis di program S3- Arsitektur ITS Surabaya.

            Dari aspek pencahayaan, perlu diingat bahwa matahari sebagai sumber pencahayaan alami mempunyai 2 aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu aspek cahaya dan panas. Oleh sebab itu kita harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut dalam desain. Di satu sisi kita bisa memanfaatkan pencahayaan yang murah pada siang hari sehingga dapat menghindari penggunaan cahaya buatan pada siang hari dan di sisi lain kita bisa menekan panas yang masuk ke dalam bangunan. strategi awal yang dapat dilakukan adalah melalui pengolahan tata ruang, artinya dihindari ruang di dalam ruang (ruang bertumpuk). Toh seandainya hal itu harus terjadi, maka solusinya adalah dengan meninggikan bagian atap yang dapat memungkinkan penempatan bukaan atas, sehingga cahaya dan aliran udara dapat diakses ke dalam ruang tersebut. Strategi yang kedua adalah mengorientasikan bangunan melalui alat-alat bukaan (jendela dan ventilasi) pada sisi bangunan yang tidak terkena pancaran matahari secara langsung dan sekaligus juga merespon arah angin datang (biasanya sisi Utara dan Selatan). Yang ketiga adalah melengkapi bangunan dengan alat-alat pembayangan baik secara vertikal maupun horizontal. Strategi yang ke empat yang dapat diterapkan adalah menjaga ketinggian dinding dan atap yang memungkinkan cahaya dan angin masuk ke bangunan dan sekaligus dapat mengurangi panas yang masuk dan tempias dari ait hujan.  Strategi kelima adalah menerapkan pencahayaan dari atas, terutama untuk denah bangunan yang terlalu luas. Pada strategi yang kelima ini, aspek panas yang masuk tetap harus dipertimbangkan.

 

Pendekatan Non Arsitektural     

            Konsep pendekatan non arsitektural ini adalah dititikberatkan pada penggunaan teknologi yang dapat memanfaatkan kelebihan panas di daerah tropis. Alat ini berupa panel surya (Photovoltaic Panel), yaitu sebuah panel, yang ditempatkan di bidang atap (Building Integrated Photovotaics) atau di halaman, yang dapat menyerap dan menyimpan energi panas yang dihasilkan oleh panas matahari. Energi panas yang tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi energi listrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan buatan terutama pada penggunaan malam hari. Pada siang hari sistim penghawaan dan pencahayaan lebih difokuskan pada pendekatan alami (natural cooling and lighting). Permasalahannya adalah pengadaan panel surya ini juga tidak murah. Namun untuk jangka panjang Panel Surya ini sangat efektif untuk penghematan energi.

            Sementara untuk sistim pencahayaan buatan, penggunaan lampu-lampu hemat energi dapat membantu mengurangi konsumsi energi. Yang dimaksud lampu energi adalah penggunaan lampu-lampu yang mempunyai tingkat efikasi tinggi, artinya mempunyai tingkat Illuminasi cahaya tinggi (Lux)/ watt. Oleh karena itu penggunaan lampu jenis SL dengan wattage rendah (8 – 11 watt) tetapi mempunyai tingkat illuminasi 560 – 770 Lux sangat disarankan. Tingkat illuminasi sebesar itu sangat mencukupi untuk kegiatan sehari-hari yang berkisar 150 – 400 lux.  Keuntungan dari dari pemakaian lampu hemat energi adalah tidak menimbulkan efek panas pada ruang.

 

            Dengan menerapkan strategi-strategi di atas diharapkan konsep bangunan hemat energi dapat dilakukan oleh masyarakat. Dan ketergantungan kita pada energi listrik yang ber BBM dapat diminimalkan.

 

Ir. Bonifasius Heru Santoso Soemarno, M.App.Sc

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur FT-UNS Surakarta

Pemerhati masalah Arsitektur Lingkungan

Candidat Doktor di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya